Suku Sunda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang mayoritas mendiami provinsi Jawa Barat, yang terletak di bagian barat Pulau Jawa. Wilayah ini sering disebut sebagai Tatar Pasundan. Kurang lebih sekitar 15,41 % penduduk yang tersebar di Indonesia berasal dari suku Sunda.
Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini mempunyai etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud ialah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (terampil), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah ada sejak zaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad ke- 17, sudah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.
Sunda adalah kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa dengan berjalannya waktu sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda adalah cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda sudah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, dll.
Dalam perkembangannya, pengguna Bahasa Sunda telah jauh menurun akibat dari adanya pandangan bahwa bahasa daerah merupakan bahasa kelas dua setelah bahasa nasional, sehingga masyarakat terlebih generasi muda terkesan malu untuk menggunakan Bahasa Sunda dalam keseharian.
Bahasa Suku Sunda
Bahasa Sunda mengenal tingkatan bahasa, yaitu Bahasa Lemes (bahasa halus) yang ditemukan di daerah Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi dan Cianjur, Bahasa Sedang yang dapat ditemukan di daerah pantai utara Banten, Karawang, Cirebon, dan Bogor. Kemudian Bahasa Kasar, yang dibagi lagi menjadi Cohag (kasar) dan Cohag Pisan (kasar sekali).
Dalam perkembangannya, pengguna Bahasa Sunda telah jauh menurun akibat dari adanya pandangan bahwa bahasa daerah merupakan bahasa kelas dua setelah bahasa nasional, sehingga masyarakat terlebih generasi muda terkesan malu untuk menggunakan Bahasa Sunda dalam keseharian.
Mata Pencaharian Suku Sunda
Mata pencaharian utama masyarakat Sunda adalah bercocok tanam di sawah dan ladang. Tanaman pokok adalah padi, yang ditanam di sawah yang umumnya bertingkat-tingkat. Di kebun atau ladang mereka suka bertanam sayur-mayur, disamping tanaman ekspor, seperti teh, karet, kina, tebu, kelapa sawit, selain ada pula yang mengusahakan peternakan dan perikanan kolam, kerajinan tangan, anyam-anyaman, kerajinan tembikar dan sebagainya. Kemajuan di bidang pendidikan menyebabkan banyak pula orang Sunda yang bekerja sebagai pamong, pendidik, eksekutif, pedagang besar, pengusaha dan lain-lain.
Masyarakat Suku Sunda
Prinsip garis keturunan atau hubungan kekerabatan orang Sunda adalah bilateral. Keluarga inti memperoleh kekuatan sosial dalam kesatuannya dengan keluarga luas yang mereka sebut golongan. Sebagian masyarakat ini juga mengenal kekerabatan yang ambilineal karena hanya mencakup kerabat di sekitar ego, akan tetapi tetap berorientasi kepada kakek moyang, sistem ini disebut bondoroyot.
Pemimpin formal masyarakat Sunda sudah cukup lama mengikuti sistem birokrasi maju. Kepemimpinan formal berurutan dari provinsi, daerah tingkat dua kecamatan, desa sampai ke kampung-kampung. Pamong desa terdiri dari Kepala Desa, Juru Tulis, Polisi Desa, Ulu-ulu, Amil, Kepala Kampung dan Ketua Rukun Tetangga. Pemimpin informal yang ada mungkin sisa dari bentuk kepemimpinan tradisional yang sekarang masih cukup disegani di daerah-daerah tertentu, seperti para pemuka agama, amil kolot, gangirang, sesepuh dan lain-lain.
Sistem pelapisan sosial dalam kehidupan masyarakat Sunda yang masih ada umumnya berdasarkan keturunan. Ada yang disebut golongan menak, yaitu kaum bangsawan yang umumnya berasal dari keturunan pejabat pemerintahan belanda dulu, mereka biasanya memakai gelar Raden. Kemudian adalah golongan rakyat biasa yang disebut Cacah atau Somah. Berdasarkan harta kekayaan dalam pelapisan sosial ini juga ada yang disebut golongan jelema beunghar atau jelegut (orang kaya) dan melarat. Orang-orang kaya yang memiliki tanah luas biasanya disebut nu boga tanah (pemilik tanah) dan yang tidak punya tanah garapan disebut nu gagarap (penggarap).
Kesenian Suku Sunda
Kesenian Sunda ada yang dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, tetapi kesenian yang dianggap asli masyarakat ini juga banyak ditemukan, seperti wawacan (seni tradisi lisan agama Islam) dan beluk (seni suara untuk membawakan wawacan). Wayang golek Sunda memang dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa Mataram, akan tetapi sudah berkembang menurut citarasa orang Sunda. Dan banyak lagi kesenian tradisional Sunda yang cukup terkenal dan sudah dikembangkan kembali.
Agama Dan Kepercayaan Suku Sunda
Sebagian besar orang Sunda memeluk agama Islam. Tetapi sekarang ada juga beragama Katolik. Walaupun begitu dalam kehidupan sehari-hari sisa-sisa kepercayaan dari kakek moyang masih nampak, misalnya dengan pengadaan upacara sesajen kepada arwah keruhun (leluhur) untuk meminta berkah sebelum melakukan pekerjaan-pekerjaan penting. Selain itu masih banyak yang percaya kepada kekuatan gaib dukun dan tukang teluh untuk membuat pelet, guna-guna, asihan, susuk, dan sebagainya.
Referensi : Harsojo 1983, Depdikbud 1989
Adat Istiadat Suku Sunda
Upacara Adat Perkawinan Suku Sunda
Adat Sunda adalah salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun rangkaian acaranya bisa dilihat berikut ini.
- Ngeuyeuk seureuh (opsional, Jika ngeuyeuk seureuh tidak dilakukan, maka seserahan dilaksanakan sesaat sebelum akad nikah.) :
- Dipimpin pengeuyeuk.
- Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan doa restu kepada kedua orang tua serta memberikan nasehat melalui lambang-lambang atau benda yang disediakan berupa parawanten, pangradinan dan sebagainya.
- Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk
- Disawer beras, agar hidup sejahtera.
- dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat supaya memupuk kasih sayang dan giat bekerja.
- Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah tangga yang akan dibina masih bersih dan belum ternoda.
- Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin pria). Bermakna supaya keduanya saling mengasihi dan bisa menyesuaikan diri.
- Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak tiga kali (oleh calon pengantin pria).
- Seserahan (3 – 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria membawa uang, pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan, dan lain-lain.
- Tunangan. Dilakukan ‘patuker beubeur tameuh’, yakni penyerahan ikat pinggang warna pelangi atau polos kepada si gadis.
- Lamaran. Dilaksanakan orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat. Disertai seseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun atau sirih pinang komplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai pameungkeut (pengikat). Cincin tidak mutlak harus dibawa. Jika dibawa, bisanya berupa cincing meneng, melambangkan kemantapan dan keabadian.
- Nendeun Omong, yakni pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang berminat mempersunting seorang gadis.
- Membuat lungkun. Dua lembar sirih bertangkai saling dihadapkan. Digulung menjadi satu memanjang. Diikat dengan benang kanteh.
- Diikuti kedua orang tua dan para tamu yang hadir. Maknanya, agar kelak rejeki yang diperoleh bila berlebihan dapat dibagikan kepada saudara dan handai taulan.
- Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rejeki dan disayang keluarga.
- Upacara Prosesi Pernikahan
- Penjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita
- Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan.
- Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatangani surat nikah.
- Sungkeman,
- Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.
- Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua pengantin wanita. Kedua pengantin dipayungi payung besar diselingi taburan beras kuning atau kunyit ke atas payung.
- Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin pria.
- Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Lantas kakinya dicuci dengan air bunga dan dilap pengantin wanita.
Sistem Kekerabatan Suku Sunda
Sistem kekerabatan masyarakat Sunda ialah bilateral (garis keturunan ayah ataupun ibu). Sistem kekerabatan dan perkawinan dilakukan secara Islam. Bentuk keluarga yang terkenal ialah keluarga batih, yakni suami, istri, dan anak-anak.
Di Sunda mengenal tujuh generasi ke atas dan ke bawah sebagai berikut.
- Tujuh generasi ke atas: kolot, embah, buyut, bao, jangga wareng, udeg-udeg, dan gantung siwur.
- Tujuh generasi ke bawah: anak, incu, buyut, bao, jangga wareng, udeg-udeg, dan gantung siwur.
Sumber :
Harsojo 1983, Depdikbud 1989
Komentar
Posting Komentar